padapuisi Chairil Anwar dalam kumpulan "Deru Campur Debu". Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1 ) Membaca berulang-ulang buku kumpulan Deru Campu Debu. (2 ) Mencatat data yang termasuk dalam penggunaan diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam buku kumpulan deru campur debu. (3 )
Puisidoa karya chairil anwar menjadi salah satu karya sastra yang populer di tanah air. Pada puisi tersebut terdapat beberapa diksi seperti "penuh seluruh" memang dua kata tersebut mempunyai makna yang sama namun penulis. Makna Dan Larik Puisi Doa » 2021 Ramadhan Analisis puisi doa berdasarkan struktur fisik (lahir) dan struktur batinnya para pelajar di
SastraAngkatan 45, bentuk: Puisi. Karya: Chairil Anwar. Ini adalah salah satu puisi dari seorang maestro yaitu Chairil Anwar, dengan kata yang lugas, kaya makna, dan indah untuk difahami. Dari buku: Deru Campur Debu â
DeruCampur Debu pertama diterbitkan di tahun kematian Chairil Anwar pada tahun 1949. Kemudian puisi-puisi ini diterbitkan kembali dan dilengkapi dengan ilustrasi oleh Oesman Effendi tahun 1958. Kulit di sebelah merupakan edisi 1958 Chairil Anwar Kawanku dan Aku Sudah larut sekali. Hilang tenggelam segala makna. Dan gerak tak punya arti.
Penyairangkatan 45 tersebut terkenal dengan berbagai karya puisinya yang menggunakan kiasan tajam dan makna mendalam. Puisi berjudul Aku merupakan karya dari Chairil Anwar yang paling terkenal hingga sekarang. seperti Deru Campur Debu (1949). Puisi berjudul "Aku" merupakan karya Chairil Anwar yang paling terkenal dan masih terkenang
2 Mendeskripsikan makna metafora dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu Karya Chairil Anwar. 1.5Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoritisnya diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan bagi pembangun referensi sastra.
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk pendeskripsian penggunaan bahasa figuratif, makna bahasa figuratif, dan rencana implementasi bahasa figuratif dalam kumpulan puisi DCD karya Chairil Anwar. Metode penelitian adalah metode deksriptif bentuk kualitatif dengan pendekatan semiotik. Berdasarkan hasil analis data, maka dihasilkan simpulan sebagai berikut : 1) Penggunaan bahasa figuratif dalam
padaKumpulan puisi Deru Campur Debu karya Chairil. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada: 1. Dr. Fauzan, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. 2. Dr.
Abstrak Penelitian ini mengkaji struktur lahir pada kumpulan puisi Deru Campur Debu karya Cha iril Anwar. Adapun empat puisi yang di kaji yakni " Kepada Peminta-Minta ", " Sajak Putih ", " Senja
0ctkOlA. Puisi Chairil Anwar ini, saya temukan pada buku kumpulan puisi yang berjudul "Deru Campur Debu". Buku yang saya baca ini merupakan buku cetakan keenam tahun 2016 dari Penerbit Dian Rakyat. Awalnya, saya tidak menyangka bisa menemukan kumpulan-kumpulan puisi Chairil Anwar dalam sebuah buku yang ada di perpustakaan sekolah. Sungguh, kalau dulu saat sekola SMP/SMA hanya menemukan cukilan-cukilan puisi dalam buku paket Bahasa Indonesia atau saat dibacakan oleh guru Bahasa Indonesia saat itu. Kemudahan dalam mengakses informasi, menjadi keuntungan tersendiri. Tidak usah menunggu lama atau mencari ceceran-ceceran puisi Chairil Anwar, tetapi langsung dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul "Deru Campur Debu". Dalam kumpulan puisi "Deru campur Debu" tersebut ada 27 puisi plus 1 buah Tulisan Chairil Anwar. Sayang sekali saya kesulitan dalam membaca tulisan Chairil Anwar tersebut. Puisi-puisi yang ada dalam kumpulan buku "Deru Campur Debu" adalah sebagai berikut Aku Hampa Selamat Tinggal Orang Berdua Sia-Sia Doa Isa Kepada Peminta-minta Kesabaran Sajak Putih Kawanku dan Aku Kepada Kawan Sebuah Kamar Lagu Siul Malam di Pegunungan Catetan Th. 1946 Nocturno Kepada Pelukis Affandi Buah Album Cerita Buat Dien Tamaela Penerimaan Kepada Penyair Bohon Senja di Pelabuhan Kecil Kabar dari Laut Tuti Artic Sorga Cintaku Jauh di Pulau Tulisan Chairil Anwar Dari ke-28 judul itu ada beberapa yang sudah saya kenal ketika SMP/SMA yaitu Aku yang begitu legendaris, puisi Doa, Kepada Peminta-Minta, Cerita Buat Dien Tamaela, serta Senja di Pelabuhan Kecil. Sedangkan judul-judul puisi Chairil Anwar yang lain baru kenal beberapa waktu kemarin. Ternyata ada puisi yang sangat pendek, tidak sebanding judulnya. Puisi yang saya maksud berjudul Malam di Pegunungan, yang berbunyi sebagai berikut. Malam di Pegunungan Aku berpikir Bulan inikah yang membikin dingin, Jadi pucat rumah dan kaku pepohonan? Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! Coba baca dan cermati puisi Chairil Anwar di atas. Saya kira puisi itu bicara tentang seseorang yang merasakan kesepian di pegunungan. Sendirian. Beku. Mati..dan seterusnya. Ternyata....jauh dari bayangan saya. Aku berpikir Bulan inikah yang membikin dingin. Maksudnya..apakah Chairil Anwar bertanya pada bulan ataukah "bulan" yang tidak dijelaskan sedang terang benderang atau redup, bulat penuh atau separuh bahkan seperempat sebagai penyeban malam di pegunungan menjadi dingin. Masa iya membuat rumah menjadi pucat dan pepohonan menjadi kaku. Ketika digambarkan bulannya bulan pucat, atau tidak terang boleh jadi rumah pun menjadi pucat. Tetapi apa hubungannya dengan kekakuan pepohonan? Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! Apakah dalam bayangan Chairil Anwar, pegunungan tersebut sebagai sebuah desa atau setidaknya dekat dengan desa, sehingga ditemukan anak kecil. Kayaknya ndak deh, hanya ada seorang anak kecil yang bermain sendirian di pegunungan... Entahlah...Begitulah mungkin imajinasi seorang penyair. Seorang Chairil Anwar yang dengan ide-idenya yang diluar persangkaan orang biasa.
Interpretation is the art of seeking meaning just as the author originally intended. In the process, the author's intent becomes the key of which among many towards an interpretation. Each interpretation requires the interpreter to enter the author's mind and identify with the author, achieve total experience or repeat the global experience of the author and enter the realm of his emotions. Chairil Anwar's 'aku Berkaca' is an interesting text offering a rich depth of meaning to be drawn from. There are at least three layers of meaning contained within the poem, namely the context layer, the sound layer, and the meaning layer. These three layers of meaning usher the reader towards the climax indeed the climax as the author intends is a message and meaning in of itself. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 33Tiga Lapis Makna Puisi Aku Berkacaâ Karya Chairil AnwarTIGA LAPIS MAKNA PUISI AKU BERKACAâ KARYA CHAIRIL Bhanu Viktorahadi Fakultas Filsafat Universitas Katolik ParahyanganAbstrakî Interpretaîonîisîtheîartîofîseekingîmeaningîjustîasîtheîauthorîoriginallyîintend-ed.îInîtheîprocess,îtheîauthorâsîintentîbecomesîtheîkeyîofîwhichîamongîmanyîtowardsîanîinterpretaîon.îEachîinterpretaîonîrequiresîtheîinterpreterîtoîenterîtheîauthorâsîmindîandîidenîfyîwithîtheîauthor,îachieveîtotalîexperienceîorîrepeatîtheîglobalî experienceîofîtheîauthorîandîenterîtheîrealmî ofî hisî emoîons.î Chairilî AnwarâsîakuîBerkacaâîisîanîinteresîngîtextîoî«eringîaî richî depthîofî meaningîtoîbeî drawnî from.î Thereîareîatîleastîthreeîlayersîofîmeaningîcontainedîwithinîtheîpoem,înamelyîtheîcontextîlayer,îtheîsoundîlayer,îandîtheî meaningîlayer.îTheseîthreeî layersîofîmeaningîusherîtheî readerîtowardsîtheîclimaxîindeedîtheîclimaxîasîtheîauthorîintendsîisîaîmessageîandîmeaningîinîofî Kuncitafsir, makna, konteks, bunyiA. PENDAHULUANPuisi seringkali tak terlahir dari suatu proses komunikasi langsung, seperti yang terjadi pada sebuah pantun. Puisi terlahir tanpa kehadiran langsung pendengarnya audience in absentia. Komunikasi memang tidak selamanya terjadi hanya karena dua mulut berbicara bersahut-sahutan. Ada sesuatu yang disebut Ivan Illich sebagai the eloquency of silenceâ. Artinya, kefasihan dari diam. Menurut Ivan Illich, kata-kata dan kalimat terdiri atas diam yang lebih bermakna daripada bunyi1. Puisi terlahir dari kehidupan penulisnya yang terpencil2. Oleh karena itu, puisi memiliki makna yang khas. Kekhasan atau karakteristik puisi sangat dipengaruhi pribadi penulis dan kondisi saat puisi itu ditulis. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa penafsiran sebenarnya merupakan upaya untuk menjelaskan sebuah teks sesuai dengan makna asli teks tersebut. Dalam arti sempit, menafsirkan adalah upaya untuk menemukan arti sebagaimana dimaksudkan penulis. Di sini, maksud penulis menjadi salah satu kunci penting interpretasi3. Sejumlah makna yang dimaksud pengarang mungkin saja tidak dapat lagi dipahami pembaca akibat rentang waktu antara si penulis dengan si pembaca penafsir atau aneka rentang lainnya. Oleh karena itu, menurut Friedrich Schleiermacher4 setiap penafsiran menuntut penafsir untuk memasuki pikiran pengarang dan mengidentiîżkasi diri dengannya, mencapai pengalaman total atau mengulang pengalaman global penulis serta masuk dalam perasaannya. Hal yang kurang lebih serupa ditegaskan Wilhem Dilthey, yaitu bahwa peran pengarang dan rasa-perasaannya memegang peranan penting dalam intrepretasi sebuah teks5. Idealnya, tugas seorang pembaca adalah untuk mengungkap apa yang ingin dimaksudkan penulis voluntas sigîżcandi yang dinyatakan dalam kata-kata vis verbi. Seorang penulis mengobjektivikasi Bhanu Viktorahadimaksud atau pikirannya ke dalam sebuah kata. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa maksud seorang penulis tidak dengan sepenuhnya tertuang lewat kata-katanya. Saat maksud itu tak sepenuhnya terungkap dengan kata yang dipergunakan, seorang penafsir harus berupaya untuk tidak membatasi diri pada kata-kata tetapi pada maksud waktu antara penulisan puisi Aku Berkacaâ dengan upaya membaca dan menafsir saat ini hampir 70 tahun6. Banyak sekali perubahan, terutama dalam hal pemaknaan kata yang terjadi dalam rentang waktu tersebut. Oleh karena pertimbangan rentang waktu serta aneka kemungkinan perubahan tersebut, penafsiran yang dilakukan ini tidak bermaksud menggali maksud asli pengarang Chairil Anwar. Tulisan ini menggali makna puisi Aku Berkacaâ karya Chairil Anwar. Layaknya mengupas bawang, tulisan ini mencoba secara sederhana membuka lapis demi lapis puisi karya Chairil Anwar dengan kemampuan terbatas pembaca yang dalam hal ini bertindak sebagai penafsir. Guna menggali maknanya secara îżlosoîżs, tulisan ini mengajukan dua permasalahan. Pertama, bagaimana para îżlsuf, terutama yang berkecimpung di dunia tafsir atau hermeneutik menafsirkan teks untuk mengambil makna yang tersirat di baliknya. Kedua, bagaimana proses penggalian makna dari teks puisi itu berlangsung. Tulisan ini mengakhiri diskusinya dengan menggunakan analisis retoris Aristoteles untuk merangkum lapis-lapis makna teks puisi HASIL DAN PEMBAHASAN Aku BerkacaIni muka penuh lukaSiapa punya?Kudengar seru menderudalam hatikuApa hanya angin lalu?Lagu lain pulaMenggelepar tengah malam butaAh.......!!Segala menebal, segala mengentalSegala tak kukenal .............!!Selamat tinggal ................!dari Deru Campur Debu1. Lapis konteksSeperti halnya puisi karya penyair lainnya, puisi buah pena Chairil Anwar memiliki sejumlah ciri khas. Umar Junus menyebut tiga di antara sejumlah karakteristik puisi Chairil Anwar7. Pertama, puisi-puisi Chairil Anwar merupakan pemikiran tentang sesuatu, sehingga di dalamnya dijumpai perkembangan pemikirannya yang bertolak menuju kepada klimaks. Kedua, puisi-puisi Chairil Anwar memiliki persambungan pikiran dari baris ke baris, dari bait ke bait. Ketiga, kaitan antara baris atau bait itu sebenarnya tidak terlalu jelas karena baris atau bait itu disusunnya secara independen. Artinya, setiap baris atau bait dapat berdiri sendiri tanpa terkait langsung dengan baris atau bait sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi, kemungkinan untuk mencari kaitan antara baris-baris atau bait-bait itu pun tetap terbuka Junus, puisi-puisi Chairil 35Tiga Lapis Makna Puisi Aku Berkacaâ Karya Chairil AnwarAnwar lebih merupakan manipulasi struktur kalimat sehingga membuat setiap baris atau bait puisinya dapat berdiri sendiri-sendiri secara independen8. Nampaknya, Chairil Anwar sengaja membiarkan setiap unsur dari puisinya, terutama yang sedang dianalisis ini memiliki karakteristiknya tersendiri. Karakteristik yang dimiliki setiap unsur itu membuat setiap unsur memiliki makna yang menentukan makna keseluruhan puisi tersebut, seperti yang digagas Hans-Georg Gadamer, yaitu pemahaman atau pemaknaan suatu keseluruhan terjadi berdasarkan pengaruh atau kontribusi unsur-unsurnya. Sekaligus, secara resiprokal terjadi proses serupa, yaitu pemahaman suatu unsur muncul berdasarkan Lapis bentuk bunyiDalam puisinya ini, nampaknya Chairil Anwar sengaja memamerkan terjadinya asonansi10 dalam setiap baitnya. Pada bait pertama terdapat asonansi vokal aâ dalam akhiran tiap baris. Pada bait kedua, tiga frasenya berasonansi di akhir dengan vokal uâ. Selanjutnya, bait ketiga memberi tempat kembali pada vokal aâ untuk menutup dua barisnya. Dua bait berikutnya ditutup dengan tanda baca seru. Bisa jadi, dengan tanda baca itu, Chairil Anwar hendak menaikkan tekanan puisinya supaya menjadi klimaks11. Secara khusus, pada bait terakhir, tiga barisnya berasonansi pada suku kata -alâ. Peralihan dari asonansi berakhiran vokal yang berkarakter terbuka menuju asonansi berakhiran konsonan yang berkarakter tertutup pada akhir puisi ini sekaligus seperti menutup atau menyelesaikan puisi ini dalam puncak klimaks. Dengan asonansi tersebut, Chairil Anwar seolah lebih mementingkan aspek stilistika atau plastik bahasa untuk menentukan sukses atau gagalnya karya sastra yang ditulisnya ini. Dengan adanya asonansi dalam empat bait puisinya ini, Chairil Anwar lebih menekankan keindahan bunyi dalam puisinya ini sebagai suatu pesan. Dengan kata lain, keindahan bunyi yang ditampakkan puisi ini menjadi bagian dari pesan atau bahkan pesan itu sendiri sebagaimana yang digagas Marshall McLuhan the medium is the messageâ bahasa artiîżsial dalam puisinya ini, Chairil Anwar bermaksud pergi dari arus utama sekaligus menyambut fajar dunia baru. Oleh karena itu, puisinya ini cenderung bersifat subversif. Di sini, makna subversif tak negatif. Yang dimaksud adalah subversif sesuai dengan makna asalinya, yaitu subversioâ Latin. Artinya, pembalikan atau pemutaran arah. Secara positif, subversif dapat dimaknai sebagai suatu upaya merintis konsep-konsep atau gagasan baru yang dapat lebih relevan. Dalam upaya mencari relevansi pada puisinya ini, Chairil Anwar mencoba melawan arus umum yang biasanya mengedepankan makna dari kata-kata dalam puisi. Dalam puisinya ini, Chairil Anwar lebih mengedepankan bentuk baca bunyi sebagai pesan yang ingin disampaikannya. Dengan kata lain, Chairil Anwar ingin menggunakan semiotik alih-alih strukturalisme. Dalam semiotik, segala unsur bentuk dalam suatu karya sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem pemaknaan itu sendiri13. Melalui puisinya ini, nampaknya Chairil Anwar memberi peluang lebih besar pada estetika alih-alih pada struktur atau pemaknaan yang terdapat dalam puisinya ini dipakainya sebagai titian nada bunyi yang menggiring pembaca sampai pada klimaks puisi. Dengan pesan bunyi ini, bisa jadi Chairil Anwar bermaksud mengajak pembaca untuk merasakan proses merasa yang mencapai klimaks atau puncaknya Bhanu Viktorahadipada suatu keputusan atau keputusasaan, yaitu Selamat tinggal................!â 3. Lapis maknaWalaupun, nampak mengedepankan estetika dalam wujud bunyi, bukan berarti puisi ini tidak bermakna dari sudut pandang sebuah unit teks. Puisi sebagai suatu karya sastra pada hakikatnya memiliki logika dan realitasnya tersendiri, yang menguasai seluruh mekanismenya. Kebenaran dari logika dan realitas yang ada di dalamnya ditentukan sepenuhnya oleh hubungan integral dari suatu unsur dengan unsur-unsur lain dari karya itu. Dengan kata lain, puisi bukanlah sekadar ikhtiar untuk sekadar bergenit-genit dengan estetika. Puisi juga bukanlah sekadar suatu upaya berimajinasi secara sembarangan dan tanpa tujuan. Puisi bukanlah semacam lamunan ke dalam alam tak nyata. Sebaliknya, seperti sebuah lampu sorot, puisi menunjuk ke depan, ke arah desain yang jelas. Puisi adalah keterbukaan atau ketersingkapan yang membawa yang ada menjadi lebih bersinar dan meledak14. Dengan puisi, makna kehidupan yang tersembunyi hendak disingkapkan. Dalam ikhtiar menyingkapkan makna itulah proses menafsir berikut ini Anwar memberi puisinya judul Aku Berkacaâ. Pada umumnya, kaca atau tepatnya cermin berfungsi untuk memantulkan bayangan dari diri subjek yang berdiri di depannya. Bayangan yang terdapat dalam cermin itu akan menunjukkan kenyataan diri subjek, baik yang positif maupun yang negatif. Dalam judul ini, Chairil Anwar belum mengungkapkan akibat yang diperolehnya dari bercermin. Baru dalam baris pertama puisinya, ia mengungkapkan bahwa aktivitas bercermin itu memberinya suatu gambaran diri. Gambaran diri itu diungkapkannya dalam kalimat Ini muka penuh lukaâ.Dengan ungkapan ini muka penuh lukaâ itu penulis mengembangkan suatu imaji. Menurut Jean-Paul Sartre, imaji lebih merupakan suatu tindakan kesadaran daripada suatu benda dalam kesadaran. Dengan kata lain, imaji adalah aktivitas produktif yang mengintensifkan sebuah objek dengan cara tertentu. Imaji itu bersifat quasi-observasi. Artinya, kesadaran imajinatif memproyeksikan yang diimajinasikannya seolah-olah itu nyata15. Imaji itu mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, atau merasakan yang dialami penulis. Realitas yang ditampakkan cermin kepada dirinya ternyata negatif, yaitu muka yang penuh luka. Rupanya kondisi itu bukanlah yang diharapkannya. Bisa jadi, kondisi ideal itu adalah akibat dari masa lalu. Hal ini nampak dari kata lukaâ yang digunakan. Luka adalah bekas kecelakaan entah berat atau ringan. Luka dapat membuat seorang yang memilikinya kembali mengingat peristiwa yang mengakibatkan timbulnya luka tersebut. Lebih dari itu, luka bisa menimbulkan trauma. Singkatnya, ada pengalaman masa lalu yang tidak baik, yang jika kembali diingat atau tidak sengaja diingat akan menimbulkan kesedihan. Oleh karena menimbulkan kesedihan, orang yang bercermin itu enggan atau menolak mengakui bahwa wajah penuh luka itu adalah dirinya. Wajar jika ungkapan berikutnya adalah penolakan atas kondisi tersebut yang terwujud dalam pertanyaan siapa punya?âDengan pertanyaan itu, ia menggugat realitas nyata yang ada di hadapannya. Ia mencoba mengalihkan diri dari kenyataan yang sebenarnya adalah kondisi dirinya sendiri kepada pihak lain yang anonim siapaâ. Anonimitas menjadi tempatnya membuang kondisi tidak ideal itu. Dengan membuangnya, ia berharap bisa terbebas 37Tiga Lapis Makna Puisi Aku Berkacaâ Karya Chairil Anwardari kondisi tak ideal menangkap kondisi tidak ideal dengan indra penglihat, Chairil Anwar menangkap realitas lainnya dengan menggunakan indra pendengar. Hal ini diungkapkannya pada bait berikutnya Kudengar seru menderu dalam hatikuâ. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ternyata seru menderuâ yang terdengarnya bukanlah bunyi yang dapat ditangkap dengan telinga sebagaimana bunyi pada umumnya. Bunyi itu berada di dalam hatinya. Oleh karena belum jelas, bisa jadi yang didengar itu bukanlah bunyi yang sesungguhnya. Yang didengarnya adalah pseudo-bunyi, sesuatu yang seolah-olah seperti bunyi, sehingga ungkapan berikutnya adalah suatu pertanyaan Apa hanya angin lalu?âKondisi yang ditampakkan dalam bait ini nampaknya juga bukanlah suatu kondisi yang ideal. Kondisi yang dimaksudkan adalah timbulnya suatu bunyi, tetapi tidak bisa dipastikan bunyi apakah itu. Lagi-lagi ada kesan bahwa penulis ingin mengalihkan sesuatu yang sebenarnya ada dalam dirinya atau kondisi nyata dirinya itu dalam hatiku kepada sesuatu yang ada di luar dirinya angin laluâ. Ungkapan angin laluâ memiliki tendensi anonim. Angin adalah sesuatu yang tidak berwujud, kecuali jika membawa sesuatu bersamanya topan, puting beliung. Akan tetapi, walaupun tidak berwujud, angin dapat dirasakan dan dialami. Pada ungkapan dalam baris ini, rupanya unsur dirasakan dan dialami itu juga direduksi dengan kata laluâ. Sekurang-kurangnya, kata ini mengungkapkan dua makna. Pertama, datang dari masa lampau atau sudah lewat. Kedua, sekelebat atau seadanya bukan angin kencang atau angin ribut. Dari ungkapan tersebut, penulis nampaknya menghendaki supaya seru menderuâ yang sebenarnya nyata dalam dirinya itu hanyalah sesuatu yang tidak berarti atau sesuatu yang sudah lewat. Dengan kata lain, ia ingin menghindari, bahkan setelah mengungkapkan yang dirasakan atau dialaminya melalui dua indra penglihat dan pendengar, penulis menyampaikan sesuatu lain yang dialaminya. Pengalaman itu diungkapkannya dalam kalimat Lagu lain pula menggelepar tengah malam butaâ. Penulis mendeîżnisikan yang dirasakan atau dialaminya sebagai lagu lainâ. Sebenarnya, deîżnisi lagu sudah cukup jelas, yaitu untaian nada dan syair yang membentuk satu kesatuan bunyi yang bermakna dan berirama. Akan tetapi, kata lainâ membuat deîżnisi itu tereduksi kejelasannya. Kata lainâ ini seolah menunjukkan bahwa lagu yang dimaksud adalah lagu yang berbeda atau bahkan lagu yang tidak biasa alias aneh. Lagi-lagi, di sini muncul kondisi tidak biasa, yang dapat saja disebut sebagai kondisi tidak lagu itu ditampakkan dalam aktivitasnya. Biasanya lagu memproduksi bunyi yang dapat didengar. Akan tetapi, dalam baris ini, lagu tidak memproduksi bunyi. Lagu ini justru menggeleparâ, suatu aktivitas yang todak lazim untuk sebuah lagu. Bisa jadi, ada yang salah dengan lagu ini sehingga menggelepar. Selain itu, konteks waktu saat terjadinya aktivitas itu pun tidak lumrah, yaitu tengah malam butaâ. Di sini penyair menggunakan bahasa îżguratif atas kata malam. Malam diibaratkan manusia yang tidak dapat melihat alias buta. Secara umum, malam memang biasa dimaknai sebagai gelap. Dengan adanya ungkapan butaâ yang mengikutinya, kesan gelap menjadi semakin kuat. Kondisi gelap biasanya dilawankan dengan terang. Pada umumnya, yang lebih dilihat sebagai kondisi ideal adalah terang. Gelap cenderung dilihat sebagai kondisi tidak ideal. Kondisi tidak Bhanu Viktorahadiideal dalam konteks ungkapan tengah malam butaâ disangatkan. Dengan kata lain, kondisinya sungguh sangat tidak ideal. Kondisi ini menguatkan kondisi tidak ideal sebelumnya yang dimiliki ungkapan lagu lainâ yang menggelepar itu. Jelaslah, bahwa kondisi ideal menjadi semakin kuat ditampakkan dalam bait ketiga penulis menggunakan onomatope di bait berikutnya dalam ungkapan Ah .......!!â. Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi. Tiruan bunyi dalam konteks bait ini bisa menimbulkan efek memelas atau kecewa. Jika dikaitkan dengan tiga bait sebelumnya, bisa jadi onomatope itu menjadi semacam ekspresi dari kejengahan si penulis atas kondisi tidak ideal tiga kali berturut-turut yang dialaminya. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain mengeluarkan bunyi sebagai ekspresi perasaannya. Tidak ada kata atau ungkapan yang memadai untuk dapat mengungkapkan perasaan yang dialaminya berikutnya atau bait terakhir menjadi klimaks dari puisi sekaligus ungkapan perasaannya. Segala menebal, segala mengental. Segala tak kukenal .............!! Selamat tinggal ................!âPenulis merangkum aneka macam kondisi tidak ideal itu dengan ungkapan segalaâ. Bagi penulis, segalanya menebalâ. Menebal bisa diartikan menjadi kasar atau menjadi tak peka. Segalanya mengental. Mengental dapat dimaknai tidak cair atau kaku. Dalam konteks seorang pribadi, kekakuan dapat dimaknai sebagai kerasnya hati atau bebal. Akhirnya, ungkapan yang ketiga terkait kondisi tidak ideal itu adalah tak kukenalâ. Di sini penulis menegaskan opini personalnya dengan objek pelaku kuâ aku. Bisa jadi, di sini penulis sungguh-sungguh ingin memberi penekanan bahwa dirinyalah yang tak mengenal segala macam kondisi tak ideal itu. Kemungkinan lainnya adalah bahwa si penulis tidak ingin mengenal kondisi-kondisi tidak ideal itu. Oleh karena tak mengenal, terbuka kemungkinan baginya untuk mengabaikan itu semua. Penulis menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki keharusan atau tanggung jawab untuk peka atau menaruh perhatian pada kondisi-kondisi ideal itu. Oleh karena itu, ungkapan terakhir sangatlah pas. Selamat tinggal ................!Penulis sampai pada keputusan. Ia memutuskan untuk meninggalkan segalanya, kondisi-kondisi ideal itu. Jika memang itu yang dimaksud penulis, secara implisit terkandung di dalam keputusan itu suatu harapan bahwa dengan meninggalkan atau mengucapkan selamat tinggal pada segalanya itu, ia akan memeroleh sesuatu yang lebih baik atau sesuatu yang ideal. Akan tetapi, bisa juga ungkapan Selamat tinggal ................!â itu dimaknai bukan sebagai keputusan, melainkan sebagai keputusasaan. Jika ini yang terjadi, ada nuansa pesimis yang muncul. Penulis seolah tidak sanggup lagi menemukan yang ideal yang ingin diraihnya. Jika ini yang terjadi, penulis semakin jatuh terjerembab dalam pesimistis. Bahkan, dalam kondisi paling akut, penulis masuk ke dalam kehampaan atau ketiadaan. Ia kehilangan eksistensi dirinya. Dalam kondisi ini, yang dikatakan Jean-Paul Sartre terjadi, yaitu tiada menghantui ada atau eksistensi diri le nĂ©ant hante lâĂȘtre menemukan kenyataannya. Setiap realitas atau kenyataan dengan sendirinya terancam ketiadaan yang terkandung dalam dirinya SIMPULANDari sudut pandang strategi penyampaian, melalui puisinya ini, Chairil Anwar dapat dilihat menggunakan strategi retorika yang biasa digunakan para îżlsuf Yunani, secara khusus yang beraktivitas di 39Tiga Lapis Makna Puisi Aku Berkacaâ Karya Chairil AnwarAtena. Chairil Anwar masuk ke dalam diri pembacanya melalui pola pikir persuasif yang telah umum dikenal warga Atena, yaitu Retorika Aristoteles17. Secara ringkas, retorika Aristoteles ini mencakup tiga unsur, yaitu ethos, pathos, dan logos. Pertama, melalui asonansi maupun diksi dalam puisinya ini, Chairil Anwar menampilkan diri dengan sesuai etika ethos. Yang dimaksudkan etika di sini bukanlah sekadar tata moral. Yang dimaksudkan dengan etika dalam konteks ini adalah kepantasan sikap. Chairil Anwar berhasil menampilkan diri sebagai pribadi yang sungguh-sungguh manusiawi, lengkap dengan aneka macam perasaan dan emosi yang wajar. Kedua, Chairil Anwar juga berhasil menyapa dan mengangkat emosi pembaca saat berwacana atau berkomunikasi dengan mereka pathos, baik dengan asonansi maupun diksi yang terdapat dalam puisinya ini. Ketiga, Chairil Anwar pun tak lupa akan pesan yang harus disampaikannya logos melalui puisinya ini, yaitu sikap manusia dalam menghadapi aneka macam kondisi tidak ideal dalam hidupnya. Chairil Anwar memperlengkapi diri dengan pemahaman dari sudut pandang psikologis serta secara implisit memanfaatkan tradisi literer maupun îżlosoîżs yang dipahaminya untuk meneguhkan argumennya. Dengan tiga hal itulah Chairil Anwar bisa membuka dan mengembangkan komunikasi secara efektif dengan PUSTAKAAlonso-Schökel, Luis. A Manual of Hermeneutics. Sheî”¶eld Sheî”¶eld Academic Press, Rhetoric. trans. W. Rhys Robert. New York Dover Publications, inc., Roland. Elements of Semiology. London Jonathan Cape, Taylor. Heideggerâs analytic Interpretation, discourse, and authenticity in Being and Time. Cambridge Cambridge University Press, Paul ed.. Critical Sociology. Harmondsworth Penguin Book, Hans-Georg. âThe Historicity of Understanding.â Paul Connerton ed.. Critical Sociology. Harmondsworth Penguin Book, Martin. Poetry, Language, Thought. New York Harper & Row Publisher, Ivan. Celebration of Awareness. Harmondsworth Penguin Books, Umar. Mitos dan Komunikasi. Jakarta Penerbit Sinar Harapan, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, Marshall. Understanding Media The Extensions of Man, Cambridge, Massachusetts The MIT Press, Jean-Paul. LâĂȘtre et le nĂ©ant. Essai dâontologie phĂ©nomĂ©nologique. Paris Librairie Gallimard, . The Psychology of Imagination. New York Citadel Press, Dan R. The Philosophy of Religious Language. Oxford Blackwell Publishers Ltd., AKHIR Endnotes1 Ivan Illich, Celebration of Awareness Harmondsworth Penguin Books, 1973, Paul Connerton ed., Critical Sociology Harmondsworth Penguin Book, 1976, Luis Alonso-Schökel, A Manual of Hermeneutics Sheî”¶eld Sheî”¶eld Bhanu ViktorahadiAcademic Press, 1998, 29 âThe sense is something wanted or intended by the author; not simply a datum of the text, nor something which is simply at the mercy of the reader-interpreter.â4Dan R. Stiver, The Philosophy of Religious Language Oxford Blackwell Publishers Ltd. 1996, Carman, Heideggerâs analytic Interpretation, discourse, and authenticity in Being and Time Cambridge Cambridge University Press 2003, Puisi Aku Berkacaâ adalah satu dari sejumlah puisi dalam kumpulan puisi bertajuk Deru Campur Debuâ. Kumpulan puisi ini dipublikasikan pada 1949, tak terentang jauh dari wafat sang penulis, Chairil Anwar Medan, 26 Juli 1922 â Jakarta, 28 April 1949.7 Umar Junus, Mitos dan Komunikasi Jakarta Penerbit Sinar Harapan, 1981, Umar Junus, Mitos dan Komunikasi, Hans-Georg Gadamer, âThe Historicity of Understanding,â Paul Connerton ed., Critical Sociology Harmondsworth Penguin Book, 1976, Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, 130 Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya asonansi digunakan dalam puisi. Kadang-kadang juga asonansi ini digunakan dalam proses untuk memperoleh efek penekan atau sekadar keindahan. Contoh, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahuâ.11 Goris Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 124 Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urut-urutan pikiran yang setiap kali meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan Marshall McLuhan, Understanding Media The Extensions of Man Cambridge, Massachusetts The MIT Press, 1994, Roland Bartes, Elements of Semiology London Jonathan Cape, 1967, Martin Heidegger, Poetry, Language, Thought New York Harper & Row Publisher, 1971, Jean-Paul Sartre, The Psychology of Imagination New York Citadel Press, 1972, Jean-Paul Sartre, LâĂȘtre et le nĂ©ant. Essai dâontologie phĂ©nomĂ©nologique Paris Librairie Gallimard, 1943, Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Robert New York Dover Publications, inc., 2004, 6-11. Antonio Julio PutraPilgrimage is some act like make a devotional visit to sacred place. In there, we can find something which make us close with God. The way that we use to find it is we have to open one of part in ourself, that we called as intuition. From the intuition, people can examine some experience of pilgrimage, that is a experience of God. Pass through this experience will make something happened, that we called communication. From the communication, experience transform to be a image about The Transcendent. One of the thousand of The God Image can founded in this paper. That image appear because of a experience which bring the ratio and the faith, and then create some new perspective of The Transcendent Taylor CarmanThis book offers an interpretation of Heidegger's major work, Being and Time. Unlike those who view Heidegger as an idealist, Taylor Carman argues that Heidegger is best understood as a realist. Amongst the distinctive features of the book are an interpretation explicitly oriented within a Kantian framework often taken for granted in readings of Heidegger and an analysis of Dasein in relation to recent theories of intentionality, notably those of Dennett and Searle. Rigorous, jargon-free and deftly argued this book will be necessary reading for all serious students of of Awareness. Harmondsworth Penguin BooksIvan IllichIllich, Ivan. Celebration of Awareness. Harmondsworth Penguin Books, d'ontologie phĂ©nomĂ©nologiqueJean-Paul SartreSartre, Jean-Paul. L'ĂȘtre et le nĂ©ant. Essai d'ontologie phĂ©nomĂ©nologique. Paris Librairie Gallimard, 1943. ______________. The Psychology of Imagination. New York Citadel Press, Philosophy of Religious LanguageDan R StiverStiver, Dan R. The Philosophy of Religious Language. Oxford Blackwell Publishers Ltd., Berkaca' adalah satu dari sejumlah puisi dalam kumpulan puisi bertajuk 'Deru Campur Debu'. Kumpulan puisi ini dipublikasikan pada 1949, tak terentang jauh dari wafat sang penulisPuisiPuisi 'Aku Berkaca' adalah satu dari sejumlah puisi dalam kumpulan puisi bertajuk 'Deru Campur Debu'. Kumpulan puisi ini dipublikasikan pada 1949, tak terentang jauh dari wafat sang penulis, Chairil Anwar Medan, 26 Juli 1922 -Jakarta, 28 April 1949.130 Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya asonansi digunakan dalam puisi. Kadang-kadang juga asonansi ini digunakan dalam proses untuk memperoleh efek penekan atau sekadar keindahan. Contoh, 'kura-kura dalam perahuGorys KerafDiksi Dan GayaBahasaGorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, 130 Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya asonansi digunakan dalam puisi. Kadang-kadang juga asonansi ini digunakan dalam proses untuk memperoleh efek penekan atau sekadar keindahan. Contoh, 'kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu'.Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urut-urutan pikiran yang setiap kali meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnyaGoris KerafDiksi Dan GayaBahasaGoris Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 124 Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urut-urutan pikiran yang setiap kali meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan HeideggerPoetryLanguageMartin Heidegger, Poetry, Language, Thought New York Harper & Row Publisher, 1971, 72.
Buku TerjemahanTerjemahanKerja penterjemahan secara eceran hampir tiada di arus perdana. Bilik Penyair berhasrat mempergiatkan bahagian ini meskipun secara kecil-kecilan. Esei Wawancara Terbitan Tentang Penafian Deru Campur Debu pertama diterbitkan di tahun kematian Chairil Anwar pada tahun 1949. Kemudian puisi-puisi ini diterbitkan kembali dan dilengkapi dengan ilustrasi oleh Oesman Effendi tahun di sebelah merupakan edisi 1958Kawanku dan AkuSudah larut sekali. Hilang tenggelam segala makna. Dan gerak tak punya Tubuh mengucur darah mengucur darahOrang BerduaMasih berdekapankah kami atau mengikut juga bayangan itu?Udara bertuba. Setan bertempik. Ini sepi terus ada. Dan TinggalSegala menebal, segala mengental. Segala tak kukenal. Selamat TinggalAkuAku mau hidup seribu tahun lagi
Data buku kumpulan puisi Judul Deru Campur Debu Penulis Chairil Anwar Cetakan III, 1993 Penerbit PT. Dian Rakyat, Jakarta Tebal 47 halaman 28 puisi ISBN 979-523-042-5 Ilustrasi isi Oesman Effendi Beberapa pilihan puisi Chairil Anwar dalam Deru Campur Debu Aku Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan akan akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. Cintaku Jauh di Pulau Cintaku jauh di pulau Gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanya Di air yang tenang, di angin mendayu di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata âTujukan perahu ke pangkuanku saja.â Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama kan merapuh Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau ku mati, dia mati iseng sendiri. Kawanku dan Aku Kami sama pejalan larut Menembus kabut Hujan mengucur badan Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat Siapa berkata-kata? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenaga Dia bertanya jam berapa? Sudah larut sekali Hilang tenggelam segala makna Dan gerak tak punya arti Kepada Kawan Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat, mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa, belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, layar merah berkibar hilang dalam kelam, kawan, mari kita putuskan kini di sini Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! Jadi Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Tembus jelajah dunia ini dan balikkan Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Jangan tambatkan pada siang dan malam Dan Hancurkan lagi apa yang kau perbuat, Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Tidak minta ampun atas segala dosa, Tidak memberi pamit pada siapa saja! Jadi mari kita putuskan sekali lagi Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi, Sekali lagi kawan, sebaris lagi Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!! Doa kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Kepada Peminta-minta Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku Cerita Buat Dien Tamaela Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu Beta Pattirajawane Kikisan laut Berdarah laut Beta Pattirajawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba. Mari menari! mari beria! mari berlupa! Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku Beta kirim datu-datu! Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau... Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu Sebuah Kamar Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. âSudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!â Ibuku tertidur dalam tersedu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada d luar hitungan Kamar begini 3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa! Hampa Kepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai di puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. Tentang Chairil Anwar Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Berpendidikan MULO tidak tamat. Pernah menjadi redaktur âGelanggangâ ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949 dan redaktur Gema Suasana 1949. Kumpulan sajaknya, Deru Campur Debu 1949, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus 1949, dan Tiga Menguak Takdir bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950. Chairil Anwar dianggap pelopor angkatan 45. Ia meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Hari kematiannya diperingati sebagai Hari Sastra di Indonesia. Catatan Lain Buku ini koleksi perpustarda Prov. Kalsel. Pinjam 2 April 2012 dan mesti dibalikin 18 April 2012. Sketsa / lukisan Chairil Anwar
makna puisi deru campur debu